03. Awal Perubahan
Di taman mawar hitam yang terlihat suram, wajah lurus dan tampan seorang pria yang memiliki semacam kebangsawanan disertai dengan aura kesepian, sedang berdiri sambil memegang botol kecil transparan dengan cairan berwarna ungu kehitaman di bawah lengkungan mawar.
Pria itu menundukkan kepalanya dan terus memainkan botol kaca kecil di tangannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Mirei yang melihat saudara kembarnya seperti itu langsung memiliki perasaan tidak nyaman.
Naluri mencari keuntungan dan menghindari kerugian membuatnya mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menggerakkan kaki kecilnya yang lemas untuk berjalan mundur.
Namun seakan memiliki mata di belakang kepalanya, Muzan memanggil saudarinya dengan lembut yang jelas sangat tidak cocok dengan karakternya yang biasa.
"Mirei. Aku tidak menyangka kamu masih berniat untuk mengindari ku bahkan setelah aku menunggumu di tempat ini."
Taman mawar yang sangat nyentrik dibandingkan dengan nuansa tradisional jepang yang biasa, adalah tempat yang sudah di cap sebagai milik pribadi Mirei.
Mengingat bahwa nona muda itulah yang merawat dan mengurus semuanya seorang diri, hampir tidak ada pelayan yang berani memasuki tempat itu.
Hingga taman mawar hitam dengan nuansa suram dan menakutkan bahkan sampai terkenal sebagai tempat persembunyian bagi sang nona muda.
"Aniue, ada apa ? Kenapa kamu menungguku di sini ?"
Karena tidak ada yang pernah memasuki taman selain ibu dan ayahnya (itupun jarang), Mirei tidak menyangka bahwa saudara laki-lakinya akan muncul di sana menunggu dirinya.
"Apa boleh buat kan ?"
Muzan berjalan mendekat dengan langkah yang agak lambat.
"Kamu menjauhiku. Kamu tidak lagi muncul dan bahkan menghindar dariku."
Langkah demi langkah, dan mata mereka terus terjalin, hingga jarak mereka semakin menyempit, Muzan pun mulai mengulurkan tangan untuk memeluk tubuh mungil adik perempuannya, namun sang saudari justru bereaksi dengan berjalan mundur untuk mengambil jarak darinya.
Respons yang jujur ini membuat Kibutsuji Muzan sedikit tak tertahankan, dia menyipitkan mata untuk menyembunyikan tatapan obsesi di matanya, lalu mengerutkan kening dan berkata.
"Tidak apa-apa. Bukankah kita saudara kembar yang merupakan orang paling terdekat bagi satu sama lain. Jadi kenapa kamu harus peduli pada orang tak berarti itu ?"
Mirei ingin menyangkalnya, tapi melihat mata yang berbahaya, dia mengubah kata-katanya dengan keinginan kuat untuk bertahan hidup.
"Aku mengerti Aniue hanya tidak menyukai mereka yang menghinaku di belakang. Tapi, mengambil nyawa mereka disaat mereka bahkan tidak membuat kesalahan besar itu terlalu berlebihan."
Mendengar saudara laki-lakinya mengeluarkan tawa teredam, Mirei semakin waspada. Namun hal itu justru membuat Muzan semakin gila karenanya.
"Menghinamu sama dengan menghinaku. Aku tidak akan pernah memaafkan siapapun yang berani mengatakan hal buruk mengenai mu. Apalagi jika kamu bahkan sampai menghindari ku karena hal itu........ Aku benar-benar sangat membencinya."
Mirei yang terlalu takut akan semakin menyinggung saudaranya pun membiarkan Muzan melingkari tangan di tubuhnya.
"Sebelumnya kamu tidak suka aku berada di dekatmu. Lalu ada apa dengan kepedulian aneh yang tiba-tiba muncul ini ?" (Mirei)
"Kebetulan aku juga ingin tahu apa yang terjadi." (Muzan)
Merasakan sumber panas dari adik perempuan yang ada di pelukannya, serta aroma samar dari tubuhnya, perasaan yang tidak bisa diungkapkan mulai memenuhi isi hatinya.
Muzan sadar bahwa dia tidak bisa begitu merasakan emosi selain marah dan jenuh, karena itu sejauh ini hidupnya selalu terasa begitu hampa, dan satu-satunya tujuan yang dia punya hanyalah menjadi sehat dan hidup selama yang dia bisa.
Namun, saat dia mengingat mata jingga kemerahan seperti matahari tenggelam yang cerah menatap lurus ke arahnya, begitu menyilaukan sehingga orang tidak bisa memalingkan muka, dia merasakan sensasi campur aduk yang membuatnya sulit merespon dengan normal.
Sikap dan perbuatannya menjadi tidak bisa diatur sesuai keinginan, dan bahkan pemikiran aneh mulai bermunculan.
Ingin mengurungnya, ingin menjauhkan semua orang darinya.
Akhirnya karena tidak tahan, dia pun memutuskan untuk membuat gadis kecil itu pergi dari hidupnya. Namun hasilnya-
"Aku benci tidak bisa melihatmu. Jadi, jangan pernah menghindar dariku lagi." (Muzan)
Panas.
Merasakan suhu tinggi yang berasal dari orang yang sedang memeluknya, Mirei langsung melupakan ketakutan sebelumnya dan mulai mengkhawatirkan kondisi Muzan yang terlihat tidak benar.
"Aniue !" (Mirei)
".... Jangan pergi....." (Muzan)
Mengetahui saudaranya mulai kehilangan kesadaran, Mirei memegangi tubuh yang kehilangan kekuatan seperti akan jatuh.
Melihat kondisi saudaranya yang terlihat tidak baik, dia meletakkan tubuh yang lemas dengan hati-hati di atas rumput dan bergegas pergi mencari bantuan.
Tuhan tahu bahwa ketika dia baru saja berbicara dengan saudara laki-lakinya, keinginan melarikan diri adalah apa yang selalu dia pikirkan. Tapi anehnya, hanya dengan melihatnya lemah seperti tadi, dia tidak lagi dapat memikirkan apapun dan hanya peduli terhadap kondisi saudaranya saja.
Ketika dia akhirnya kembali membawa para pelayan untuk membantu, dan kini sedang menunggu kedatangan tabib, dia melihat ibunya masuk dengan wajah khawatir saat melihat dirinya sendiri.
"Ha-hahaue ?"
"Apa kamu baik-baik saja ?!"
"Aku ? Ya ! Justru aniue lah yang tidak dalam kondisi baik sekarang."
"....... Begitu....."
Tidak tahu apakah kelegaan yang dia lihat pada ibunya adalah hal yang hanya dia bayangkan atau bukan, tapi dia merasa sesuatu terasa sangat tidak wajar.
Jelas dia selalu sehat, namun kenapa ibunya berpikir bahwa dia lah yang membutuhkan tabib, disaat biasanya tabib dipanggil untuk mengobati saudaranya yang sakit.
"Ada apa dengan Muzan ? Kenapa dia pingsan di taman milikmu ?"
"Aniue hanya mencari ku untuk berbincang sebentar."
"Mengenai apa ?"
Semakin ibunya bertanya, semakin dia merasa sesuatu sedang disembunyikan, dan ibunya khawatir dia tahu mengenai hal tersebut.
"Aniue bosan dan ingin aku menemaninya mengobrol. Tapi karena aku hampir selalu berada di taman, aniue terpaksa harus datang sendiri karena tidak ingin mengganggu pelayan yang canggung saat didekatnya."
Mirei yakin dia tidak pernah belajar membaca ekspresi wajah, namun ketidakpercayaan bisa sangat dia lihat dari semua orang yang mendengar jawaban darinya.
"Mirei....."
"Y-ya ? Ada apa hahaue ?"
Ibunya tersenyum dengan lembut.
Jelas senyuman biasa yang sering dia lihat, tapi-
"Jangan terlalu dekat dengan saudara laki-laki mu."
"Ap-apa ?! Kenapa ?"
"Saudaramu sakit dan memiliki emosi yang tidak stabil. Akan buruk jika dia tidak sengaja melampiaskan amarahnya padamu saat kesal."
"Itu....."
Mengingat kembali mengenai kematian pelayan dan reaksi ketakutan orang-orang disekitar pada saudaranya, sudah jelas siapa pelaku yang melakukannya, dan semua itu sangat mungkin dilakukan oleh saudara laki-lakinya sendiri.
Karena bagaimanapun juga, saudaranya tidak dekat dengan siapapun, yang berarti dia seharusnya tidak memiliki orang yang cukup terpercaya untuk diberi instruksi.
Meski dibuat seakan-akan sebuah kecelakaan, dia tidak berpikir reaksi orang-orang yang seragam adalah hal yang normal.
Alhasil, kesimpulan mengerikan pun muncul.
Ini bukanlah kesimpulan tanpa dasar, namun sepertinya sesuatu yang buruk pernah terjadi sebelumnya juga tanpa ia ketahui hingga membuat mereka menjadi seperti ini.
Tapi–
"Aku yakin saudaraku tidak akan menyakiti ku."
Melihat ekspresi kecewa dari ibunya, dia tidak bisa berkata apapun untuk membenarkan diri.
Dia tahu bahwa ibunya hanya khawatir dan peduli pada dirinya. Namun, Muzan adalah saudaranya, saudara kembarnya.
"Aku tahu kekhawatiran mu hahaue, aku berjanji akan menjaga dan mengawasi aniue. Kamu bisa percaya padaku."
Matsumi memang kecewa dan sedih dengan keputusan Mirei, namun dia lebih takut akan apa yang bisa dilakukan oleh Muzan pada putrinya.
Melihat sorot mata tajam yang memancarkan aura berbahaya dari putranya yang ada di belakang Mirei yang memunggungi, dia tahu bahwa Muzan sudah memutuskan untuk memulai bertindak.
Tidak hanya dia, hampir semua orang yang cukup dekat dengan mereka tahu bahwa perasaan Muzan pada adik perempuannya tidaklah wajar.
Bukan jenis perasaan romansa, tapi justru sesuatu yang bahkan lebih buruk dari itu.
Perasaan yang sangat merasuki pikiran, keinginan memonopoli dan mengatur segalanya tentang adik perempuannya sudah mendominasi pikiran tanpa terkendali sampai membuat emosi meluap.
Sebelumnya masih baik-baik saja karena Muzan berniat untuk menghindar dari perasaannya, namun setelah penerimaan terjadi, langsung membuatnya melakukan tindakan yang tidak rasional dan sangat membabi buta.
Dia sepertinya telah meremehkan karakter putranya. Sebagai seorang ibu, dia selalu merasa bahwa dialah yang mengendalikan keseluruhan situasi. Sekarang sepertinya dia gagal-
'Tidak ! Aku tidak gagal ! Masih ada cara untuk menjauhkan mereka berdua !' (Matsumi)
Melihat senyum dingin sinis putranya yang meremehkan, dia juga ingin membalasnya dengan menertawakan kenaifan anak bodoh itu, namun berusaha menahannya sebaik mungkin, membiarkannya merasa bangga untuk sementara waktu.
Dia adalah ibunya.
Dia memiliki posisi dan hak untuk memutuskan dengan siapa putrinya berinteraksi dan kemana dia akan pergi.
Mirei yang tidak tahu mengenai pertengkaran tersembunyi yang terjadi di antara ibu dan saudara laki-lakinya, dengan perhatian merencanakan masa depan.
Memikirkan akan merawat saudaranya, belajar kedokteran, menemani ayah dan ibunya, bahkan mengajari Muzan tentang dasar-dasar moral yang diperlukan, praktis menjadi seorang anak dan saudari yang berbakti. Tanpa mengetahui kegelapan yang mengintai di sekitar siap menenggelamkannya kapanpun ada kesempatan.
❈•≫────≪•◦ ❈ ◦•≫────≪•❈
Author note : aku lagi mencoba genre baru. Jika kalian tidak menyukai cerita yandere, tidak disarankan untuk dibaca.
Comments
Post a Comment