05. Oni Pertama
Sebagian besar waktu dia dalam keadaan mengantuk dengan mata tertutup, dan wajah serta bibirnya hampir tidak memiliki warna.
Mirei duduk diam di samping tempat tidur, wajahnya terkubur dalam bayang-bayang, hanya mata jingganya yang terkontaminasi warna merah menunjukkan keresahan saat ini.
"Aniue......"
Suara gadis itu serak, dan pada saat ini, tangannya gemetar dan dia ingin menyentuhnya, tetapi dia mundur.
Dia tidak berani menyentuhnya sama sekali, seolah-olah tangan yang rapuh itu akan hancur dengan sekali sentuhan.
"Kamu.... Kenapa kamu sangat mengkhawatirkan ku ?"
Sudut mata Muzan memerah dan untuk pertama kalinya dia merasa akan menangis dalam sepanjang hidupnya.
Semua orang selalu menghindar dan takut padanya. Bahkan kedua orang tua juga sama.
Hanya adik perempuan ini yang dengan tulus meraih tangannya.
Meski takut.
Meski dia tahu bahwa dirinya berbahaya, gadis itu tetap mendekat seperti anak kucing bodoh yang tidak mengerti dunia.
Bukan karena simpati, bukan karena kemunafikan ingin terlihat baik dengan kepedulian palsu. Hanya murni peduli padanya karena dia adalah saudaranya.
"Tentu saja karena kamu adalah saudaraku !"
Muzan mendapatkan kilas balik dari gadis yang memasakkan berbagai jenis bubur karena nafsu makannya yang buruk.
Berusaha membujuknya makan seperti dialah ibu yang telah melahirkannya.
Memegangi tangannya saat rasa sakit itu menyerang dirinya. Bahkan meski dia terluka akibat remasan kuat dan cakaran yang tidak disengaja, gadis itu akan selalu tetap disana seperti satu-satunya cahaya dalam hidupnya.
"Serius...... Semakin kamu peduli, semakin aku berpikir untuk hidup lebih dan lebih setiap hari."
Terus hidup untuk memonopoli perhatiannya, namun tanpa mengetahui betapa menakutkannya apa yang sebenarnya ada di benak pria itu, Mirei tersenyum dan matanya yang cerah menatap lurus ke arah Muzan, begitu menyilaukan sehingga orang tidak bisa memalingkan wajah.
"Itu bagus ! Selama kamu terus memiliki semangat hidup. Itu bagus !"
Tapi Muzan memilih untuk memalingkan wajahnya kesamping dan diam-diam mengerutkan kening, dia bisa melihat bahwa ibunya telah merencanakan masa depan adik perempuannya, dan semua orang yang akhirnya telah melihat kebaikan Mirei pun turut bahagia untuk nona muda mereka yang akhirnya dekat dengan orang di luar mansion.
Memikirkan Takeda Mamoru yang selalu dibicarakan oleh semua orang secara sembunyi-sembunyi darinya, membuatnya merasa tidak nyaman karena barang-barangnya sendiri didambakan.
"Mirei....."
"Ya ?"
"Bisakah kamu memelukku ?"
".... Eh...... ?"
Meski ragu karena khawatir akan menyakiti saudaranya, Mirei yang tidak tahan dengan permohonan di wajah saudaranya memeluk dengan lembut, dan tubuh mereka hanya bersentuhan dengan ringan tanpa kekuatan.
Tubuh gadis itu lembut dan hangat, Muzan sangat enggan melepaskan gadis di pelukannya.
Dan saat dia mengendus pelan, dia bisa mencium bau gadis itu yang sangat harum, dan wewangian ini tidak menyengat sama sekali, tetapi sangat menenangkan, membuat seluruh tubuh Muzan yang sakit menjadi rileks.
"Apakah kamu menggunakan dupa ?"
"Um..... Ya..... Apakah terlalu menyengat ?"
"Tidak, tapi kenapa harus mawar ?"
Memikirkan arti dari mawar hitam kesukaan adik perempuannya, Muzan tidak tahu apakah harus membenci makna dari bunga itu, atau bahagia akan manfaat yang dibawakan oleh aromanya.
Melepaskan pelukan, Muzan melihat mulut kecil adik perempuannya cemberut karena tidak senang, bibirnya luar biasa indah, merah jambu alami yang benar-benar cocok untuk gadis remaja.
"Aniue. Apakah kamu benar-benar membenci mawar ?"
"Bukannya aku membenci mawar. Makna yang dimiliki oleh bunga mawar hitam kesukaanmu lah yang tidak ku suka."
"Makna......"
Mengingat-ingat arti dari bunga mawar hitam, rasa bersalah di wajah cantik Mirei tidak dapatkan disembunyikan.
Dia tidak menyangka bahwa bunga kesukaannya mengandung makna yang terus mengingatkan saudaranya dengan dewa kematian yang terus menunggu dirinya.
"Aku. Maaf..... Aku-"
"Tidak masalah."
Suara laki-laki yang magnetis menyela Mirei yang berusaha mengucapkan permintaan maaf dengan gelisah.
Tangan pria itu memegang tangannya sepanjang waktu. Rasanya hangat dan aman. Mirei yang tidak mengerti apa alasan dari berbagai perasaan haus akan kasih sayang yang dia miliki, tidak membenci perasaan ini.
Meskipun dia biasanya cukup defensif terhadap orang lain, dia sangat percaya pada apa yang disebut keluarga.
Dia merasa bahwa keluarga ini telah dia dapatkan dengan susah payah, meski dia tidak tahu bagaimana dia mendapatkan pemikiran semacam itu, namun dia tidak menghiraukannya dan hanya ingin menghargai setiap detik kebersamaan mereka.
Satu-satunya harapan yang dia miliki dari dulu yang terus bertahan hingga saat ini, hanyalah menghabiskan sisa hidupnya dengan cara normal, tanpa perlu mencolok atau dicatat dalam sejarah untuk diabadikan.
Baginya cukup keluarga yang saling mengenang satu sama lain, orang lain di dunia tidak penting dan tidak perlu bagi mereka untuk tahu.
Tapi-
"Mirei. Aku akan hidup. Aku pasti akan hidup lama."
Dia selalu merasa sedikit tidak nyaman.
Perasaan bahwa dia akan kehilangan segalanya selalu muncul dalam dirinya.
Rasanya seperti berada di dalam jam pasir. Sebanyak apapun dia mencoba mencari cara untuk menghentikan, hitungan mundur akan terus berjalan tanpa ampun. Menenggelamkannya dalam ketidakberdayaan pada apa yang sebenarnya akan terjadi.
Malam pun tiba.
Muzan meminta Mirei untuk pergi beristirahat, karena selama gadis itu ada, dia tidak bisa mendiskusikan pengobatan lanjutan yang beresiko tinggi dengan tabib nya.
"Tuan muda, apakah anda benar-benar yakin ?"
Muzan tidak bergerak, matanya kusam, seolah dia tidak mendengarnya sama sekali.
matanya menatap lurus ke arah obat yang dipegang oleh tabib.
Obat yang dimana dia akan mempertaruhkan hidupnya untuk menguji kemanjurannya.
"Lakukan saja. Ini tidak seperti aku memiliki pilihan yang lebih baik."
"Baik. Tuang muda !"
***
Di ruangan dengan dekorasi minimalis tanpa sesuatu yang tidak perlu ditambahkan kedalamnya, Mamoru memegang sepasang anting buatannya sendiri dengan senyum tipis yang mempesona.
Itu adalah anting berbentuk lonceng angin yang terbuat dari kaca. Kilauan di bawah sinar bulan terlihat sangat indah seperti batu permata.
Bunyi gemerincing yang tidak begitu berisik dan lebih condong ke arah deringan yang lembut, terdengar setiap kali mereka diguncang.
'Aku harap Mirei menyukainya.'
Memikirkan wajah cantik dan mata jingga yang entah mengapa mengingatnya pada batu amber dengan kejernihan terbaik, Mamoru seperti pria dengan cinta pertama, jantungnya berdebar kencang saat membelai lembut batu amber di dalam lonceng dengan mata penuh cinta.
'Sayang sekali Muzan sakit yang membuat Mirei tidak bisa datang hari ini. Tapi..... Muzan, ya ?'
Mamoru tidak ingat dimana dia pernah mendengar nama yang tidak biasa itu sebelumnya.
Rasa akrab dengan perasaan mengganjal sangat mengganggunya.
Namun dia tidak bisa mengingat dari buku sejarah, film, atau novel apa dia mendengar nama itu.
"Hm....... Renjiro. Apakah kamu ada di luar ?"
"Ya, tuan muda."
"Masuklah, ada yang ingin ku tanyakan."
"Baik."
Setelah bawahan itu masuk dan duduk di depan tuan yang dilayaninya. "Ceritakan tentang sepupuku. Kibutsuji Muzan." Pertanyaan aneh diucapkan oleh tuannya yang membuat bingung dirinya.
Cerita mengenai putra tertua keluarga Kibutsuji sudah sangat terkenal, jadi cukup mengherankan bahwa tuan mudanya tidak mengetahui itu.
Namun, apapun alasannya, dia sebagai bawahan tentu saja tidak boleh mempertanyakan tuannya dan hanya mengikuti apa yang diperintahkan.
Setelah mendengar semua desas-desus yang diketahui bawahannya, Mamoru masih merasa bahwa ada sesuatu yang dia lewatkan.
Sesuatu yang sangat penting, yang menentukan masa depan dirinya serta orang-orangnya.
Jika hanya mengenai kesehatan Muzan yang tidak terlalu baik sekarang, dia sudah tahu.
Dia juga tidak ingin menganggap pria itu sebagai orang jahat hanya dari desas-desus yang tidak diketahui kebenarannya, tapi untuk beberapa alasan yang tidak jelas instingnya memberitahu bahwa pria itu adalah sosok yang berbahaya dan harus menjauh darinya.
"Benar juga. Ada pelayan bodoh yang tidak tahu tempatnya, di kediaman Kibutsuji yang sempat membuat permainan kata, dari nama tuan mudanya dengan Muzan (無惨) yang berarti sengsara, menyedihkan, tragis, dan tanpa ampun."
"Betapa pelayan yang tidak memiliki kesopanan !"
Meski dia mengatakan hal yang terdengar tinggi, hanya dia yang tahu, bahwa hati kecilnya setuju dengan apa yang dikatakan oleh pelayan itu.
Entah mengapa Muzan (無惨) lebih cocok untuknya meski mereka berdua bahkan belum pernah bertemu.
***
Muzan sebagai sosok yang memberikan rasa takut dan tidak nyaman, kini sedang mengerutkan kening begitu erat sehingga dia bisa mencubit lalat hingga mati.
Tubuhnya bergetar begitu keras, keringat yang berukuran sebutir jagung menetes terus menerus tanpa henti darinya, dan gigi yang mengigit bagian bawah bibir telah membuatnya terluka.
Garis darah meluap dari sudut mulutnya, dia mencengkeram dadanya dan tersentak kesakitan, meringkuk untuk menghilangkan rasa sakit di tubuhnya.
Saat warna merah menodai selimut putih yang basah karena keringat, pemandangan menyedihkan dari pria yang berjuang menahan kematiannya muncul seperti lukisan yang mengerikan.
Disaat berikutnya entah berapa jam telah berlalu, matahari terbit dengan indahnya, dan pria seperti mayat yang tergeletak tenang hampir seperti tak bernafas membuka matanya dengan ekspresi lega.
Rasa sakit yang menghantuinya menghilang seperti tidak pernah ada.
Seakan semuanya hanya ada di dalam mimpi buruknya.
"Tuan muda ! Bagaimana perasaan anda ?!"
"Aku bisa merasakan tubuhku masih sama lemahnya, tapi rasa sakit sudah tidak lagi ku rasakan."
"Begitu. Syukurlah ! Saya akan meminta para pelayan untuk membantu anda membersihkan."
Saat tabib menggeser shoji dan akan berjalan keluar, cahaya matahari pagi jatuh ke atas kulit Muzan, dan rasa panas yang seperti terbakar membuatnya berteriak untuk pertama kalinya.
"Apa yang terjadi !? Apa yang telah kamu lakukan padaku !?"
Melihat luka bakar di kulitnya akibat matahari, ekspresi takut dan kebencian para pelayan serta bawahan tumpang tindih dengan wajah senyuman milik adik perempuan tercintanya.
Ingatan saat mereka bersama telah membuatnya menjadi lebih tidak mau, semakin dia berpikir bahwa miliknya yang paling penting akan memperlakukannya sama seperti orang-orang lain memperlakukan dirinya.
Rasa panik, takut, dan lapar menghilangkan rasionalitasnya.
Tanpa siapapun ketahui, tabib yang sebelumnya masih bernafas dan tertawa dengan orang-orang, kini telah berpindah ke dalam perut tuan yang dilayaninya dengan sepenuh hati.
Hari itu, di hari yang tenang itu. Tanpa siapapun tahu, oni telah diciptakan ke dunia ini.
❈•≫────≪•◦ ❈ ◦•≫────≪•❈
Comments
Post a Comment